Apa Yang Terpenting Bagi Hidup?
Agaknya tulisan ini akan sedikit butuh pemaknaan panjang. Aku sedang tak mencoba filosofis, maksudku barangkali butuh lebih banyak mood baikmu untuk membaca ini. Aku hanya ingin mencoba belajar lebih untuk mencari tahu apakah kebahagiaan itu benar-benar ada? Atau cuma khayalan fiksi seperti yang tertulis di banyak tulisan novel-novel “tere liye”. Yang pasti bagiku kebahagiaan tak sekadar munculnya perasaan senang ketika dirayakan, atau kehendak bebas dalam melakukan berbagai hal. Atau barangkali perasaan ketika menang, sungguh bagiku kemenangan bukanlah suatu hal yang harus ku raih mati-matian. Kebahagiaan harusnya tak bergantung pada apa yang ada di dunia luarmu. On point-nya adalah ketika kau tak meragukan dirimu sendiri untuk melangsungkan kehidupan. Menjadi dewasa dengan bijak dan menjadi tua dengan bajik.
Berbicara perihal kemenangan, tentu tiap dari diri kita ingin menang di berbagai hal. Hingga keinginan tersebut muncul diiringi dengan rasa ambisi. Bukanya buruk, hanya saja untuk memenangkan diri sendiri saja butuh waktu dan perjuangan yang tak singkat dan sebentar. Sungguh, selama ini permasalahan dari sosial-populism berakar dari kekalahan diri akan nafsu dan ego personal semata. Ketidakbijaksanaan dalam bersikap dan mengambil langkah menjadi hulu atas pantikan masalah yang kita berikan pada orang lain. Ini benar-benar menjadi absurditas yang tak pernah kunjung selesai.
Salah satu hal yang kutahu, dalam konsep “Nihilsm”, Nietzsche membeberkan fakta bahwa kecenderungan manusia modern sekarang tak mampu dalam mencerna apa yang dipikirkanya sendiri. Ketiadaan nilai-nilai — tradisional — membuat kehidupan hanya berjalan tanpa ada preferensi terhadap apapun, pada tahap ini manusia benar-benar kehilangan tujuan. Menurut Nietzshe, keadaan seperti ini merupakan bahaya yang tak bisa kita elakan untuk hari ini. Tanpa panduan nilai-nilai moral dari agama atau tradisi, manusia akan benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Sementara, di tulisan lain — Man’s Search For Himself — , Rollo May menuliskan bahwa “Ketakutan terbesar kita bukanlah pada kematian, melainkan ketakutan akan kehampaan hidup”. Ku kira, hari ini penyakit terbesar dari manusia adalah memikirkan apa yang seharusnya tak dipikirkan. Karena kecemasan-kecemasan akan masa lalu ataupun masa depan itu yang justru akan membunuhmu. Perasaan khawatir yang selalu muncul akan terus menghantui.
Secara tak sadar, sepertinya aku pun telah mengalami kecemasan yang sama. Aku tak berani menyebut ini adalah sebuah anxiety, hanya saja, kukira aku tak punya masalah yang begitu besar hingga mengharuskanku untuk menjadi gila. Bahkan, perihal caraku mencintaimu tak bisa kupadankan dengan Majnun yang pantas disebut gila ketika dihadapan Layla. Dan memang benar apa yang diungkapkan oleh Rollo May tadi, bahwa kehampaan merupakan ketakutan yang sangat sadis. Namun, aku ingin mencoba membedahnya melalui pandangan yang lebih kultural. Misalnya, apakah kita selama ini pintar atau bodoh dengan sendirinya. Atau apakah mereka yang miskin memang karena kesalahan si miskin. Pikirku tak sesederhana itu, ada berbagai sektor kehidupan yang saling mempengaruhi, pun kita yang mampu mempengaruhi maupun terpengaruh oleh orang lain. Apalagi jika kita kaitkan dengan pemahaman struktural. Di negaramu ini apakah pemerintah benar-benar sudah memberikan kesehjatraan hidup yang layak?. Bagiku, negara pun harus bertanggung jawab atas ketimpangan pedidikan di tanah tepencil misal, atau kesenjangan ekonomi antara masyarakat buruh dengan para elitis kapital yang kian menambah problematika sosial hari ini. Artinya begini, bahwa apa yang kau alami tak serta merta kesalahanmu sendiri. Ada faktor pendorong yang membuat kita miskin,kaya, pintar, ataupun bodoh. Namun, aku akan kembali berkata bahwa dari semua faktor pendorong yang ada, untuk mencapai titik kebahagiaan, semua keputusan ada di tanganmu sendiri. Kau berhak hidup atas pilihanmu dan keyakinanmu.
Tak dipungkiri, kehidupan di tengah kapitalisme modern membutuhkan lebih banyak kebijaksanaan dalam bersikap. Rezim telah berganti rezim, namun sayangnya kekhawatiranmu masih sama. Kita sama-sama tahu bahwa hidup adalah sebuah perenungan yang panjang. Pun tanpa kau pikirkan, hidup akan terus berjalan, seperti biasa. Bedanya adalah bagaimana caramu menyikapi hal-hal diluar dugaanmu. Sungguh, selain ibadahmu sebenarnya tak ada hal yang benar-benar yang mampu kau jadikan sandaran. Tak ada hal di dunia ini yang benar-benar membuatmu merasa terpuaskan. Segala hal yang bersifat materil merupakan keniscayaan semu, pada akhirnya semua akan kembali seperti sedia kala. Kau akan hidup sendiri, dengan segala pilihan atas dasar kebenaran yang kau yakini. Maka, bersyukurlah mereka yang bahagia akan pilihanya sendiri.
Kau tahu, Shopie, tokoh fiksi yang digambarkan oleh Jostein Gaarder dalam novel filosofisnya — Dunia Shophie — selalu menanyakan kebenaran akan dunia yang ia tinggali. Semua keberadaan wujud ia curigai sebagai hal yang tak pasti. Maka itulah awal perjalanan Shopie untuk mencapai titik kesadaran eksistensial, menjadi autentik dengan segala kehendak bebasnya. Tentu ini tak sesederhana itu, untuk mencapai ini ada pentingnya bahwa landasan moral, agama entah tradisi harus menjadi pegangan untuk menjadi manusia bebas yang bahagia. Sayangnya, di tengah gerusan moral hari ini, sulit untuk memberikan porsi moral pada tiap keputusan. Freewill yang dibayangkan adalah bertindak radikal dan urakan tanpa ada pembatasan nilai yang berlaku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa tak ada yang benar-benar bebas, konsekuensi logis dari kebebasan adalah tanggung jawab moril pada setiap individu.
Apa Sebenarnya Makna Hidup?
Jam 1 pagi di pinggiran kota Tegal, malam itu angin memang kurang bersahabat. Tapi satu hal yang ditanyakan Abyan begitu absurd pun dengan mimik wajahhya, berkatnya obrolan mengalir deras berjam-jam hingga tak terasa badan tak mampu lagi menanggung dingin malam. Pertanyaan mengenai kehampaan yang menggerogoti hidupnya menjalar ngalor-ngidul hingga sampai pada absoluditas takdir Tuhan. Aku menanggapinya dengan pemahaman rasional yang lebih umum, sedang Yusup seperti biasa, bagianya lebih cenderung memberikan gambaran yang lebih religius. Begitulah kurang lebih obrolan yang berlarut hingga berjam-jam itu menemui titik seimbanganya.
Sebenar-benarnya aku tak jarang banyak diam ketika berkumpul dengan kawan-kawanku. Bukan apa-apa, kupikir untuk menyenangkan orang lain tak melulu harus memberikan jawaban yang panjang kali lebar. Seringkali aku hanya mencoba menyeimbangkan, tentu ini bukan perihal tema obrolan saja. Untuk beberapa hal aku lebih suka menjadi peran yang kontradiktif alih-alih ikut untuk memvalidasi pernyataan. Dan ternyata melalui obrolan seperti itu, hidup benar-benar menjadi lebih nyata. Untuk bisa sekedar merasakan sakit, suka, lara, ataupun bahagia. Karna kau tahu aku tak sedang mencoba menyenangkanmu. Aku tak seperti beberapa orang-orang yang cenderung memvalidasi apa yang kau katakan. Aku akan berkata tidak jika itu tak baik untukmu, dan akan ku usahakan apa itu yang terbaik untukmu.
Sepertinya, akan lebih jelas lagi jika kau mampu untuk merasakan apa yang ada di sekitarmu. Kau harus lihat gaya-gaya lukisan Affandi hingga Picasso yang populer itu. Mereka tak benar-benar hanya melukis, tapi mengajakmu bicara. Maksudku, barangkali untuk sekedar memvisualkan perasaan mungkin akan lebih terlihat bermakna dibanding kau pendam sendiri keresahanmu. Kita sama-sama tahu bahwa hari ini, tak ada yang benar-benar bisa lepas dari kontrol penguasa. Boleh jadi apa yang selama ini kita lakukan hanyalah pesanan dari sistem. Kita terjebak dalam “kejatuhan” ketika kita mulai melihat diri kita melalui mata orang lain, mengukur nilai kita bersadar standar eksternal, dan hidup bukan sebagai diri kita sendiri, tetapi sebagai proyeksi dari apa yang diharapkan oleh — orang lain — negara.
Aku menjalani hidupku layaknya orang “bebal”, bahkan sampai-sampai aku tak berdaya untuk sekedar merenungkan kehidupan sendiri. Layaknya Dazai, yang nyaris putus asa dengan dirinya dan selalu gemetar ketakutan dihadapan manusia. Bagaimanapun juga, dunia adalah tempat kengerian, layaknya neraka yang membara, hidup seakan menemui pengulangan-pengulangan tragis. Dalam zaman yang ditandai dengan ketidakpastian moral, kebingungan identitas personal, perubahan sosio-politik yang masif dan menggerus kepercayaan, aku kembali merenungi diantara adzan dan iqomah subuh. Memandangi tumpukan buku bacaan yang tak kunjung ku selesaikan, kembali membawaku pada pertanyaan yang mendasar tentang apa makna, nilai, dan tujuan.
Aku kembali pada tatapan layar laptop, berharap kuselesaikan tulisan ini sebelum waktu subuh berakhir. Aku ingin menuliskan sedikit keresahan ini sebelum kutemui Tuhan “nanti”. Tidak. Tentu aku tak seperti Kafka yang sempat berfikir untuk bunuh diri.
Dalam bukunya — Being and Nothingnes — , Sarte mengatakan bahwa keberadaan itu ialah absurditas yang tak terhindarkan. Kita dilemparkan ke dunia ini dengan panduan yang tak pasti dan tugas kita adalah menciptakan makna di tengah kehampaanya. Mungkin, jika aku mengatakan hal tersebut di depan Yusuf, aku akan dikatakan sebagai liberal yang tak beriman. Barangkali, pemahaman mengenai religiusitasku yang masih sangat minim ini merupakan problem terbesar dari hidupku, jawaban atas kehampaan yang mungkin juga sedang melanda Abyan waktu melontarkan pertanyaan itu. Namun, sedikitnya aku paham dan berani berdebat mengapa Tuhan menciptakan Adam ketika Sang Malaikat pun beranggapan bahwa manusialah yang akan merusak buminya sendiri.
Aku tak ingin terdengar sok religius, tapi dalam pemahamanku manusia diugaskan oleh Tuhan sebagai kholifatul fil ardh. Sebagai pemimpin di muka bumi. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna daripada mahluk yang lain. Alasan inilah yang memberikan tanggung jawab manusia sebagai “penjaga” nilai dan peradaban kehidupan di dunia. Namun, dengan segala kompleksitasnya, kecenderungan manusia modern memiliki masalah besar perihal kepercayaan dan keyakinan. Bahkan untuk sekedar mempercayai diri sendiri. Di tengah luapan teknologi, sebagian dari kita bahkan bertindak layaknya “Tuhan”. Peradaban modern benar-benar mengasingkan kesadaran moril dari kehidupan manusia.
Dalam sunyi, kutemukan diriku yang sejati, menjelajahi kedalaman batinyang tak terduga. Ketika dunia mengelilingiku dalam kebisingan, sunyi adalah oasis yang memulihkan — sebuah ruang berfikir, merasakan dan mengingat — . Di dalamnya aku berlatih untuk mendengar detak jantung jiwaku,meresapi setiap memori yang telah lalu dengan kesadaran penuh. Mengingat bahwa dalam sejarah hidup umat manusia, orang suci dan pendosa adalah orang yang sama.
Bagiku, hari ini yang terpenting adalah memahami arti hidup; apa yang harus dilakukan dalam kehidupan dan menjalani secara sadar. Hal tersebut tidak lain adalah untuk menghidupi hidup itu sendiri. Bukan. Aku bukan bermaksud berfilsafat atau menjadi seorang filsuf yang dikata sebagai pecinta kebijaksanaan. Aku hanya sedang gelisah dan meracau, membangkitkan kepercayaan diri dan berusaha menemukan motivasi untuk menjalani hidup ditengah ironi kebahagiaan yang dimonopoli. Aku tidak ingin terkungkung dalam ketidaktahuan dan ketidaksadaran. Menjaga diri dari kepura-puraan pemaknaan kehidupan yang baik. Dan, aku tidak ingin terasing dari diriku sendiri akibat konvensi kolektif yang mereduksi kemampuan personal untuk merealisasikan apa yang diyakini.
Selama ini, aku selalu lemah di hadapan diri sendiri; selalu tak berdaya dihadapan problem personal. Menangis dan kesepian; Pun dalam keramaian, sebenarnya aku selalu merasa sepi; aku berpura-pura dan memakai topeng; sok tersenyum dan ceria. Di sisi lain, aku sering terlibat dengan problem orang lain, pun aku sering mengkhawatirkan kondisi dan keadaan mereka. Aku selalu bisa menjadi pendengar dan penasehat yang baik bagi mereka, tapi tidak bagi diriku sendiri. Berhadapan dengan problem diri, aku selalu murung dan bersembunyi. Sial. Kalian memang benar. Aku munafik, juga egois.
Jujur, aku ingin seperti kalian. Bahagia dan ceria. Tidak sekedar berpura-pura. Aku ingin bisa seperti kalian yang dengan gampang bercerita menyoal segala aspek problem hidup yang dihadapi secara gampang dan fasih. Pun, meski kadang sedikit terbata-bata karena menahan air mata. Tapi, buatku itu sangat sulit. Aku selalu gamang dan tak punya keberanian, hanya bisa menangis tiap malam dan mengumpat. Mencaci diri dan menjambak rambut. Aku nampak menyedihkan. Sangat menyedihkan. Kecerianku ditiap ruang temu sewaktu siang hari adalah bunga yang layu di malam hari dan aku ingin beranjak pergi dari situasi personal yang menyakitkan.
Bagaimana tidak. Aku, pun kamu selalu disuguhkan term kenikmatan dan kesenangan yang divisualisasikan oleh peradaban hari ini. Term kenikmatan yang melulu dilekatkan pada nilai-nilai ekonomi, dan tujuan hidup disempitkan sebagai upaya untuk mendapati pencapaian duniawai yang secara prinsipil telah direduksi oleh arus budaya populer dan ekonomi kontemporer. Alhasil, seseorang selalu digerayangi tuntutan-tuntutan menyoal “demi sebuah pencapaian” dan/atau “demi sebuah kebahagiaan hidup” yang itu adalah kesementaraan dan kekecewaan yang berulang-ulang.
Apa yang menjadi tujuan hidup diperjuangkan mati-matian. Bila tujuan tercapai maka perasaan bahagia mekar di antara keringat dan rasa lelah. Bila gagal maka kecewa dan marah, pun kadang bersedih dan menangis. Kejadian ini terus berulang-ulang, dari episode satu ke episode berikutnya. Sebab, entah berhasil atau gagal hasrat keinginan dan tujuan baru akan tumbuh-berkembang di belantara ruang dan waktu. Kebahagiaan menjadi selubung maya yang konstan dalam kehendak seseorang yang tanpa kesadaran.
Apa yang didefinisikan sebagai kebahagian adalah selubung maya yang dengan mudahnya seseorang bertekuk lutut dihadapanya. Sebab pada kenyataanya hanya terjebak dalam lingkaran setan penderitaan; upaya untuk mencari kebahagiaan yang tak pernah selesai. Bukan. Bukan karena bahagia tidak ada dan tidak dapat ditemukan di dunia ini. Tetapi, proses pencarian kebahagiaan tidak bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Melainkan proses migrasi dari kebahagiaan satu ke kebahagiaan lain yang sama halnya menjadi proses menapaki penderitaan demi penderitaan.
Aku, pun kamu hanya menanggung nasib yang sebenarnya bukan menjadi sebuah pilihan; dilahirkan di dunia yang kejam; hidup di dalam lingkaran setan; siklus penderitaan yang panjang. Maka mereka yang berbahagia adalah yang tidak dilahirkan. Kini, bagiku yang terpenting adalah menjalani hidup dengan serta penuh kesadaran bahwa tidak ada jawaban yang final atas segala hal.
Aku hanya menjalani hidupku sendiri. Dengan dan tanpa mereka, ku rasa hidupku akan sama saja. Pun, tanpa mereka aku bisa memaksimalkan kebahagiaan hidup masa kini. Apa yang diharapkan dari orang lain, ketika mereka tidak memiliki tanggung jawab atas diri? Sungguh, apabila aku berkeyakinan hanya akan mendapat kebahagiaan ketika harus hidup dengan mereka, maka sebenarnya aku sedang mabuk. Hilang kesadaran, dan terlalu banyak menenggak ilusi kolektivisme. Dan, sepertinya aku perlu memaknai ulang hidup yang sesungguhnya.
Tak terasa matahari sudah mulai menyapa lewat kolom kaca jendela kamar. Berbatang-batang rokok sudah kuhabiskan. Aku tertarik dengan playlist terakhir yang terputar dengan antrean; kutuliskan sedikit satu bait yang buatku tertarik sebelum kumatikan laptop:
Bisakah kita tetap memberi (walau tak suci)
Bisakah terus mengobati (walau membiru)
Cukup besar ‘tuk mengampuni ‘tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering bisakah kita tetap membasuh — Hindia, Membasuh.